Resesi Besar, Bukan Depresi

23 November 2008

Mungkinkah depresi tahun 1930 kembali terjadi? Sebelum menjawabnya, saya akan singgung sedikit apa dan bagaimana depresi tahun 1930-an terjadi. Depresi besar dasawarsa 1930-an (dulu kita kenal dengan istilah malaise) terjadi akibat kegagalan permintaan yang merupakan salah satu masalah pokok perekonomian. Dengan kata lain, seperti yang diungkapkan Keynes depresi ekonomi disebabkan oleh kepanikan yang berhubungan pada permintaan irasional terhadap uang tunai di Wall Street yang disebutnya sebagai ”preferensi likuiditas” (liquidity preference).

Kondisi permintaan irasional terjadi karena waktu itu bursa saham sedang bergairah (bullish). Akibatnya terjadi ’eksodus’ modal besar-besaran dari bank ke bursa saham. Ledakan spekulan tak terhindarkan dan pada kondisi inilah tercipta gelembung ekonomi (economic bubble).

Nah, bagaimana kemudian dengan Krisis finansial global (Financial Global Crisis) yang terjadi belakangan ini?

Krisis finansial global saat ini sejatinya bermula dari perilaku boros pemerintah dan masyarakat AS. Hal ini tercermin dari adanya defisit ganda AS, defisit anggaran belanja dan defisit transaksi berjalan. Selain itu, krisis juga dipicu oleh kredit perumahan sub-prima (subprime mortgage) dalam jumlah besar di Amerika Serikat yang lepas kontrol. Memang kala itu perumahan menjadi bisnis yang menarik, namun ketika suku bunga naik, kredit macet naik.

Laris-manisnya bisnis perumahan ini awalnya mendorong spekulan berinvestasi dengan ekspektasi tinggi (booming ekonomi). Akibatnya kredit bergerak tak terkendali dan ini adalah konsekuensi dari dianutnya market fundamental. Faktor greedy pun terwujud dalam (Moral hazard dan mark-up).

Fakta di atas mirip dengan teori siklus bisnis. Menurut Teori Siklus Bisnis, saat booming ekonomi, kredit akan bergerak tak terkendali, moral hazard tumbuh, sehingga masa kemakmuran akan berbalik menjadi krisis.

Perilaku boros, gagal bayar kredit beresiko tinggi yang kemudian diperparah dengan berkembangnya penciptaan derivatif di sektor keuangan menjadi awal krisis. Bencana keuangan pun melanda dan melumpuhkan sejumlah lembaga yang bergerak di bidang KPR. Raksasa finansial Bear Stearns dan Bank raksasa Lehman Brothers menjadi korban.

Guna mengatasi krisis dan menyelamatkan bank-bank yang terpuruk, pemerintah AS terpaksa campur tangan dengan melakukan bailout 700 milyar dolar. Jatuhnya Lehman Brothers tidak bukan akhir cerita, krisis justru makin meluas. Beberapa pasar modal pun mengalami panic selling, yang kemudian mendorong kejatuhan indeks harga saham di hampir semua negara.

Dan krisis finansial global yang bermula dari kekacauan subprime mortgage di Amerika Serikat, telah menyebabkan shock pada perekonomian, bukan saja perekonomian Amerika, tetapi juga perekonomian dunia. Bagaimana dengan Indonesia, apa yang terjadi?

Krisis Global Bagi Indonesia
Dianutnya rezim perekonomian terbuka menjadikan semua negara dunia terintegrasi. Kebijakan negara (intern) yang dibuat harus memasukkan pertimbangan kondisi internasional (eksternal). Karena kondisi eksternal akan sangat memengaruhi sebuah negara dan tidak sebaliknya bagi negara dengan perekonomian terbuka kecil, seperti Indonesia.

Krisis keuangan global ’memaksa’ Indonesia untuk ikut ambil bagian, meski tidak besar, di dalamnya. Dampak krisis keuangan global setidaknya membawa pengaruh pada sektor riil dan sektor perbankan.

Dampak krisis di sektor riil nampak pada perubahan neraca perdagangan. Pelemahan ekonomi AS, dan negara maju lainnya, yang notebene menjadi negara tujuan utama ekspor Indonesia, berpotensi memengaruhi ekspor Indonesia. Selain itu sektor pariwisata juga ikut teancam karena berkurangnya jumlah wisman. Turunnya volume ekspor dan jumlah wisman yang merupakan penurunan permintaan agregat, dapat mengakibatkan menurunnya tingkat pertumbuhan ekonomi. Dampak lanjutan adalah meningkatknya pengangguran dan berkurangnya cadangan devisa.

Begitu halnya di sektor finansial meski relatif mampu bertahan, goncangan tidak terhindarkan. Harga saham IHSG anjlok ke level 1.250-1.400 dari puncaknya pada level 2.800 pada akhir 2007. Perluasan pun terjadi dengan terdepresiasinya kurs akibat kelangkaan dollar di pasar uang. Terapresiasinya dollar terhadap rupiah memberi potensi capital outflow semakin besar. Dan mengingat tingginya ketergantungan Indonesia terhadap impor, juga berpotensi meningkatnya imported inflation.

Resesi Besar, Bukan Depresi
Begitulah krisis finansial yang merepotkan banyak pihak ini terjadi. Terdapat beberapa kesamaan dan perbedaan dengan depresi besar 1930. Kesamaan diantaranya epi sentrum krisis, ulah spekulan, runtuhnya lantai bursa yang ’memaksa’ bank gulung tikar, meningkatnya angka pengangguran, dan turunnya PDB. Kondisi ini membuat masyarakat dunia menjadi harap-harap cemas, apakah depresi besar sebagaimana tahun 1930-an akan terulang.

Namun demikian secara nominal perbandingan kondisi Amerika Serikat pada krisis finansial saat ini jauh lebih kecil daripada depresi tahun 1930-an.

Depresi 1930-an

Amerika Serikat

Krisis Finansial 2008

25%

Pengangguran

6%

40%

NPL Properti

4&

54%

Penurunan Produksi

2% (sejak Januari ’08


Dari tabel tersebut, kiranya krisis ini tidak akan membawa kepada depresi. Selain karena angka yang terpaut jauh, pendapat saya diperkuat dengan perbedaan perlakuan terhadap krisis. Kerjasama (peran negara) yang pada masa depresi kurang dikedepankan, dalam krisis finansial saat ini nampaknya justru menjadi langakh utama penyelesaian krisis. Kerjasama coba ditawarkan Amerika Serikat bersama G7, G8, G20, dan semua negara dunia.

Lebih dari itu semua, fenomena ini menjadi sejarah baru dan menjadi niscaya bahwa peran negara penting dalam mengelola pasar. Pasar tidak self correcting. Dan benar apa yang dikatakan Richard Robinson dalam bukunya ”Indonesia: The Rise of Capital”, bahwa depresi ekonomi 1930-an menandai babak baru hubungan antara negara dan pasar. Hubungan harmonis negara dan pasar dan negara dengan negara lain (kerjasama) menjadi ’amunisi’ tangguh dalam menghalau atau mengeliminasi krisis yang meluas.

Begitulah kilasan krisis finansial yang (memang) berpotensi ke arah depresi. Namun demikian saya menyebut 'krisis finansial global ini sebagai resesi, bukannya depresi. Karena meskipun merupakan bencana besar bagi beberapa negara, tapi pada tingkat dunia kerusakan itu hingga sekarang jauh lebih kecil dari tingkat depresi. Semoga.[]

0 komentar: